Rabu, 31 Agustus 2011


Kapan Etnis Rote Mengenal Alat Musik?
Penciptaan alat musik tradisional berupa GONG, TAMBUR dan SASANDU mengikuti 3 (tiga) tahapan peradaban leluhur yaitu:
1. Zaman Batu Tua (Paleolitikum)
Masa ini terbagi lagi dalam dua bagian peradaban antara lain :
1. BERBURU
Kehidupan para leluhur pada zaman ini masih mendiami lubang-lubang jurang dan goa yang dalam syair adat setempat dikatakan, “ara bei bambi le’ak do ara bei soru luak, ” yang artinya, “mereka masih berteduh di lubang-lubang jurang dan goa”.
Di masa ini leluhur masih bergantung hidup pada hasil buruan binatang hutan yang dalam syair adatnya disebut, “ARA BEI SOUPU KUE MA BAFI LASIR”. Yang artinya, “mereka masih berburu musang dan babi hutan”. Pada masa itu, kehidupan leluhur sangat primitif dan belum mengenal pertanian dan perkebunan, bahkan belum tahu cara bercocok dan memasak makanan yang baik. Merekapun masih mengkonsumsi daging-daging mentah berbulunya, atau dalam dialeg adatnya disebut, “ARA BEI FOLO BULU MA ARA BEI RA’A MATAK,”. Yang artinya, “mereka masih memakan daging mentah dengan bulunya”. Karena hidup dengan perburuan dan tahu persis kehidupan binatang hutan, maka untuk mengarahkan keturunannya untuk tetap mempertahankan kekerabatan dan kerukunan, mereka mengumpamakan pengempolokan babi dan ayam yang selalu berkelompok dan bersama. Dalam syairnya, dikenal “ama bua-bua busa bua, ma ama mao-mao manu mao”. Artinya, “Eratkanlah tali persaudaraan dan kerukunan, seperti anjing dan ayam yang selalu bersama-sama”,


Peralatan perang, masak, makan dan minum, termasuk alat musik tradisional, berupa GONG yang dikenal dalam dialeg adat disebut, MEKO BATU, yang artinya, Gong Batu, semuanya terbuat dari sejenis BATU MANGAN. Alat musik ini tidak di bawa kemana-mana seperti GONG dan TAMBUR yang dimiliki saat ini. Selalu tersimpan di dalam lubang-lubang JURANG dan GOA. Ketika penulis melakukan pantauan ke beberapa ex nusak, misalnya Thie, Dengka, Keka dan Oenale. memang terdapat beberapa goa yang didalamnya tersimpan gong-gong yang terbuat dari batu. Dan ketika seseorang memukulnya akan memantulkan bunyi yang tidak berbeda dengan gong besi. Sedangkan hasil penelitian A. Bucher berkembangsaan SWISS, di dalam buku Paul A. Haning menjelaskan, bahwa di zaman batu (paleolitikum) telah ditemukan beberapa benda serpih bilah di daerah Niki-Niki (Timor Tengah Selatan), pulau Rote, pulau Flores dan beberapa pulau kecil lainnya, berupa kapak genggam, kapak lonjong, pisau, mata panah dan lainnya.  Oleh karena itu, sangat kuat dugaan, bahwa di pulau Rote pada zaman paleolitikum telah diciptakan alat musik GONG plus TAMBUR. Berdasarkan hal tersebut, penulis menyangkali tulisan PAUL. A. HANING, dalam bukunya yang berjudul, “SASANDU ALAT MUSIK TRADISIONAL MASYARAKAT ROTE NDAO, Tahun 2009, Bab III, Halaman 7, Alinea II yang menjelaskan, bahwa alat musik yang mula-mula diciptakan ialah GONG, atau disebut MEKO/MEO. GONG/ME’O yang bahannya terbuat dari potongan papan, yaitu  pohon BINA dan pohon BAMBU.
2. Zaman Nomaden (berpindah-pindah)
1. Melaut
Dalam melaut, para leluhur belum mengenal cara membuat perahu atau kapal. Pencarian ikan atau lainnya hanya di kedalaman air dangkal dengan menggunakan pola tradisional. Karena itu untuk mengarahkan keturunan mereka untuk tetap mempertahankan kekerabatan dan kerukunan, mereka selalu mencontohkan perkumpulan ikan-ikan yang bepergian selalu berkelompok dan selalu hidup rukun, atau dalam syairnya, disebut, “Ama Leo Kuku Laek Fo Ama Ma La’o Ao Ma Ama Leo Tia Tasik Kara Fo Ama Ma Tia Ao”. Artinya, “jadilah seperti ikan dan keong batu yang selalu bergerombolan dan bahu membahu, saling menolong dalam duka atau cita”,
2. Gembala
Pada masa ini, leluhur etnis Rote telah mengenal tentang bagaimana menggembala hewan peliharaan mereka, seperti  kerbau, kuda, babi, kambing, ayam, anjing dan lain-lain. Sehingga menurut beberapa tokoh adat, bahwa di zaman ini, para leluhur selalu berkelana mencari rerumputan hijau dan sumber air, yang dalam tuturan syair adat dikatakan, “ara bei sanga na’u nulak ma ara bei sanga oe ne’uk, Selain syair di atas, terdapat syair lain yang juga memiliki makna yang sama yaitu, “ngggoro na’u, ma sangga oe ne’uk”. Artinya, “mereka pergi mencari rerumputan hijau dan air yang jernih”. Di kehidupan inilah baru leluhur diberikan hikmat untuk membuat MEKO AI (gong  kayu) atau dalam ungkapan dialeg setempat disebut, MEKO AI. Selain GONG KAYU, leluhur juga menciptakan TAMBUR atau dalam dialeg etnis THIE MAU disebut, LABU. Alat musik ini terbuat dari kulit hewan peliharaan mereka. Dari para leluhur mulai mengenal TAMBUR sebagai salah satu jenis alat musik, barulah mereka padukan dengan bunyi gong, kemudian mereka menamainya dengan nama, MEKO LABU. Atau dalam syairnya disebut,  “gong tambur”. Bahkan hingga hari ini, bila seseorang sedang bergembala atau menjaga sawah, selalu menuntun dan membunyikan tambur kecil. Alat ini selain sebagai alat pengusir burung juga sekaligus merangkap sebagai alat penghibur. Tradisi pukul tambur kecil di sawah atau di rumah ini, hampir punah. Sedikit masih terlihat di ex Nusak THIE.  Sedangkan Kecamatan lain sudah hampir tidak terdengar lagi. **

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Tanggapan untuk saudara Jon Josep Henuk

    Dalam tulisan saya tentang alat musik gong dan tambur, saudara Jon menyangkal ( mungkin maksud saudara Jon adalah menyanggah ) bahwa gong diciptakan pada mulanya bukan dari bahan kayu tetapi dari batu mangan, sesudah itu baru gong dibuat dari kayu dan juga dibuat tambur. Lebih lanjut saudara katakan bahwa saudara menemukan gong yang terbuat dari batu yang terdapat di gua-gua di Keka, Thie, Dengka dan Oenale. Namun saya ragu atas temuan saudara Jon ini, karena:
    1. Sepanjang sejarah kesenian Rote Ndao, gong dan tambur adalah dua jenis alat musik yang saling bergatung. Gong tidak dapat berfungsi kalau tidak ada tambur. Karena saling ketergantungan antara kedua jenis alat musik itu maka gong kayu dan tambur diciptakan bersamaan waktu oleh dua orang bersaudara kandung:
    2. Selain dari Pulau Timor, A Bucher pun adakan penelitian di Rote bagian barat dan mengekskavasi beberapa gua dan yang ditemukan hanyalah serpi bilah. Ia tidak pernah mengatakan bahwa ia menemukan artefak yang berupa gong batu. Narasumber yang saya wawancarai pun tidak pernah mengatakan bahwa pada mula pertama kali gong dicipta dari batu.
    3. Berdasarkan dua alasan tersebut diatas maka saya ragu atas temuan saudara Jon, apakah yang saudara temukan itu adalah hasil buatan tangan manusia atau benda alam biasa. Kuntjaraningrat ( Antropolog ) membedakan 3 wujud kebudayaan , yang salah satunya ialah “ wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia”. Jadi walaupun batu-batu itu berbentuk gong dan bunyinya pun sangat indah, tetapi kalau bukan hasil karya manusia maka tidak dikatakan benda budaya.

    Namun, jika temuan saudara Jon itu benar-benar adalah artefak, maka ini adalah suatu temuan arkeologi yang sangat penting bagi perkembangan kesenian Rote Ndao dan tentu juga merupakan suatu masukan yang sangat berharga bagi saya dan akan saya adakan perbaikan pada buku saya tentang Sasandu pada edisi-edisi berikutnya. Untuk itu saya ucapakan terimakasih kepada saudara Jon.
    Demiakian saja tanggapan saya dan sekali lagi saya berharap jika memang yang saudara temukan itu adalah artefak/ benda budaya maka baikalah saudara meminta bantuan Dinas P & K Kab. Rote Ndao supaya segera diamankan.

    Tuhan Memberkati…………
    Ela leo be na Lamatuak ba’e bati bebe’i barakaik ma ua naru nete loak neu ita fo ita tao dala neu lauk soa neu Nusa Rote, soa neu Rote Daen do Kale Oen. SODAMOLEK

    Kupang, 27 Nopember 2011


    Paul A Haning

    BalasHapus