Rabu, 31 Agustus 2011


Etnis Rote Ndao Mengenal Tempat Makan Sirih Pinang
(Ndunak dan Tondas)
OLEH : JON YOSEP HENUK
Pada zaman berpindah-pindah (nomaden), di Pulau Rote, hidup dua (2) orang leluhur, masing-masing bernama, TOU MALELAK (artinya = laki-laki pintar dan pandai) dan TOU KAMA SU’IK (artinya= laki-laki kaya raya). Kedua leluhur ini tidak pernah akur. Mereka saling bermusuhan dan sering bersaing di dalam mempertahankan kehormatan dan harga diri masing-masing.
Menurut Tou Malelak, bahwa  meskipun Tou Kama Su’ik, adalah laki-laki terkaya, tetapi ia adalah orang yang bodoh. Begitupun dengan Tou Kama Su’ik, bahwa meskipun Tou Malelak adalah laki-laki terpintar dan pandai, tetapi dia sangat miskin dan melarat. Baik Tou Malelak dan Tou Kama Su’ik, selalu mengandalkan kelebihan  masing-masing, namun di balik kelebihan mereka itu sebenarnya terdapat kekurangannya pula.
Suatu ketika, Tou Kama Su’ik yang dilanda sakit berat (kritis), dan tinggal menunggu detik-detik kematiannya, berkhayal jangan sampai ia dikuburkan oleh anak-anaknya dengan cara yang tidak terhormat. Sementara dia adalah orang terpandang karena memiliki harta dan kekayaan yang berlimpah-ruah. Atas kepikiran ini, lalu dipanggilnyalah anak-anaknya untuk ditanyai satu persatu. Namun dari sekian anak-anaknya, tak satupun dapat memberikan jawaban yang berkenan di hati To’u Kamasu’ik.Keadaan Ini membuat Tou Kama su’ik stress dan sakitnya semakin parah lagi. Disuatu hari,barulah teringat akan Tou Malelak, namun dalam ingatannya, Tou Malelak adalah musuh bubuyutan, dan bagaimana mungkin dia bisa meminta bantuan darinya?. Pikir dipikir, akhirnya dengan sedikit kerendahan hati, terpaksa ia menyuruh anak-anaknya pergi untuk menghadirkan Tou Malelak. Mendengar bahwa dirinya dipanggil dan diajak untuk bertemu Tou Kamasu’ik, awalnya Tou Malelak hendak menolak, tapi mendengar kabar bahwa Tou Kamasu’ik sedang sakit berat, akhirnya Tou Malelak pun rela bertemu Tou Kamasu’ik.
Dihadapan Tou Kamasu’ik, Tou Malelak menanyakan perihal pemanggilan dirinya. Lalu Tou Kamasu’ik menceriterakan, bahwa ajalnya sudah dekat, dan dia menginginkan agar anak-anaknya dapat menguburkan jasadnya secara terhormat berbeda dengan penguburan-penguburan sebelumnya, tetapi tidak satupun memberikan pernyataan yang pas dengan keinginannya, maka dirinya menginginkan agar Tou Malelak dapat memberikan sedikit pendapatnya. Mendengar  perkataan Tou Kamasu’ik demikian, lalu Tou Malelak bertanya kepada Tou Kamasu’ik, bahwa semasa muda, kuat, dan sehat kamu menggembalakan domba-domba sejauh mana saja. Kemudian kata Tou Kamasu’ik, bahwa waktu dia masih muda, kuat dan sehat selalu menggembalakan hewan-hewannya dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Dari ujung timur hingga bagian barat pulau Rote. Setiap pagi, siang dan malam, selalu berkawan, berteman dan bersahabat dengan semua orang, baik kecil, besar, tua, muda, laki, perempuan dan bahkan anak-anak. Penjelasan Tou Kamasu’ik demikian, Tou Malelak dengan spontan menjawab, bahwa semua anak-anak perempuan segera menganyam ndunak (tempat makan sirih pinang bagi kaum perempuan/wanita) dan anak-anak laki perlu menganyam tondas (tempat makan sirih pinang bagi kaum laki-laki), agar siapapun yang datang menghadiri upacara penguburan dan begitu mendudukan dirinya pada tempat duduk maka ndunak dan tondas segera dikasih. Dari peristiwa kematian Ttou Kamasu’ik inilah, Ndunak dan Tondas dikenal oleh etnis Rote Ndao hingga saat ini. Bahkan budaya memberikan tempat sirih pinang inipun masih diberlakukan.
Penulis adalah Anggota Forum Adat dan Budaya Kecamatan Rote Barat Daya.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar